Rabu, 17 September 2008

JEJAK KERAJAN BANGGAI

Dalam situs resmi Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), misalnya, disebutkan bahwa Kerajaan Banggai telah dikenal pada abad ke-13. Namun, dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Bangkep dikatakan, Kerajaan Banggai baru berdiri sekitar tahun 1580. Dalam buku berjudul Babad Banggai Sepintas Kilas yang disusun Machmud HK, Kerajaan Banggai diperkirakan berdiri tahun 1525.
Dalam bukunya itu Machmud HK mengatakan memang sulit sekali memperoleh fakta-fakta yang obyektif untuk penulisan sejarah Banggai. Terlebih untuk mengetahui sejarah Banggai pada tahun-tahun sebelum abad ke-14, tidak ada catatan tertulis sama sekali.
Sumbernya, kata Machmud, hanya cerita dari mulut ke mulut atau dari Balelee. Balelee adalah cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai kemasukan roh halus.
Satu-satunya bukti tertulis yang menunjukkan Banggai telah dikenal, itu pun pada abad ke-14, adalah buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh Caka 1278 atau 1365 Masehi. Dalam seuntai syairnya di buku itu Mpu Prapanca menamai Banggai dengan Banggawi.
Meski demikian, di tengah minimnya bukti-bukti tertulis itu, sangat naif jika kita sampai meragukan keberadaan Kerajaan Banggai sebagai satu dari sekian banyak kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Air.
Empat kerajaan kecil
Menelusuri jejak Kerajaan Banggai dapat kita mulai dari sebuah rumah tua yang bernama Kamali Boneaka. Rumah kayu yang masih berdiri kokoh di Pulau Banggai itu konon sudah berumur ratusan tahun sehingga mengalami beberapa kali pemugaran.
Di dalamnya tersimpan benda-benda yang usianya lebih kurang sama dengan usia rumah tersebut, seperti pedang, tombak, payung, dan bendera. Walaupun yang menjaganya hanya Patin, seorang nenek berumur 70-an tahun, rumah itu jauh dari tangan-tangan usil. Tidak ada yang berani masuk ke dalamnya tanpa seizin Patin.
Kamali Boneaka memang dikeramatkan warga setempat. "Kamali Boneaka ini adalah bekas Istana Kerajaan Babolau," kata Patin, satu dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau.
Kerajaan Babolau sendiri merupakan satu dari empat kerajaan kecil yang pernah berdiri di Pulau Banggai. Tiga kerajaan lainnya adalah Kerajaan Singgolok, Kookini, dan Katapean, yang masing-masing juga memiliki "rumah keramat" atau bekas istana. Tidak ada literatur yang dapat memastikan tahun berapa keempat kerajaan itu berdiri. Buku Babad Banggai Sepintas Kilas, misalnya, hanya menyebut keempat kerajaan itu masih berdiri sampai abad ke-15.
Demikian pula delapan dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau yang ditemui Kompas Maret lalu, tidak dapat memastikan tahun berapa Babolau dan tiga kerajaan lainnya berdiri. "Kami tidak tahu pasti tahun berdirinya. Tapi, dari cerita orangtua kami dulu, empat kerajaan inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Banggai," kata TS Jabura (68), pemangku adat Kerajaan Babolau lainnya.
Dari sejumlah pustaka disimpulkan, pada awal abad ke-16 empat kerajaan kecil itu dikuasai Kesultanan Ternate.
Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa. Dialah yang kemudian menyatukannya menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai dengan ibu kota di Pulau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai.
Setelah memperluas wilayah Kerajaan Banggai, dari semula hanya Banggai Laut (wilayah Bangkep saat ini) sampai ke Banggai Daratan (seluruh wilayah Kabupaten Banggai), Adi Cokro kembali ke Jawa. Situs resmi Bangkep mencatat, pada tahun 1600 putra Adi Cokro yang bernama Maulana Prins Mandapar diangkat menjadi Raja Banggai pertama dan berkuasa sampai tahun 1625. Namun, menurut Machmud HK, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.
Makam Raja Mandapar ini terletak di Pulau Banggai. Makam tua yang terbuat dari batu gunung itu berukuran cukup besar, yaitu sekitar 3 x 4 meter.
Perang Tobelo
Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, Raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka juga menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada tahun 1602 sudah menginjakkan kakinya di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Ternate itu mengakibatkan sejumlah Raja Banggai ditangkap dan dibuang ke Maluku Utara. Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan Raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masa itulah meletus Perang Tobelo. Putra-putri Banggai generasi sekarang ini masih ingat betul cerita-cerita mengenai Perang Tobelo, karena bagi mereka perang itu adalah simbol kebanggaan melawan penjajahan.
Sampai awal tahun 2000 warga Banggai mengaku masih sering menemukan sisa-sisa Perang Tobelo di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Banggai. Sisa-sisa yang dimaksud berupa tengkorak dan tulang-belulang manusia yang diduga sebagai tulang-belulang prajurit Kerajaan Banggai atau Ternate. Tak jarang warga juga menemukan porselin yang diperkirakan dibawa warga China ke Banggai sejak abad ke-13.
Di Kota Tua Banggai Lalongo, yang dahulu menjadi pusat Kerajaan Banggai, itu kita juga masih dapat menemukan sejumlah situs tua, seperti tempat duduk pelantikan Raja-raja Banggai yang terbuat dari batu dan sumur tua yang menjadi sumber mata air penduduk setempat kala itu.
Sayangnya, situs-situs bersejarah tersebut sangat tidak terawat, ditutupi semak belukar. Jika tidak didampingi penduduk setempat yang benar-benar mengetahui lokasinya, proses mencari situs tersebut adalah perjalanan yang cukup melelahkan.
Selanjutnya, jejak Kerajaan Banggai juga dapat kita temukan dengan mengunjungi Keraton Banggai yang terletak di pusat Kota Banggai. Namun, selain tidak mendapatkan informasi tahun berapa istana Kerajaan Banggai itu didirikan, kita juga tidak akan menemukan benda-benda peninggalan Kerajaan Banggai di sana, selain dua meriam buatan Belanda.
M Iqrawan Bidu, staf Pemerintah Kabupaten Bangkep yang mengurusi Pariwisata dan Budaya, mengatakan, setelah kekuasaannya berakhir, Raja-raja Banggai membawa benda-benda peninggalan kerajaan ke rumahnya masing-masing. Hal itu terjadi karena Raja-raja Banggai bukan berasal dari satu garis keturunan, melainkan dipilih dari rakyat biasa yang dianggap mampu.
Untuk mencari benda-benda peninggalan itu, Iqrawan mengatakan harus dicari siapa saja keturunan dari Raja-raja Banggai yang sampai tahun 1957 berjumlah 20 orang. Setelah itu, perlu dilakukan penelitian oleh ahli- ahli arkeologi terhadap benda- benda yang dimiliki para keturunan raja tersebut. Untuk itu, tentunya dibutuhkan dana yang cukup besar. "Mungkin dengan demikian sejarah Banggai baru dapat diteliti dan ditulis secara pasti," kata Iqrawan. by A.Balike